
PENGURUS Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sekaligus Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah (PDITT) dr. Iqbal Mochtar mengatakan bahwa fenomena kekerasan seksual yang dilakukan para dokter saat ini terjadi karena adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh dokter.
“Dokter sering ditempatkan pada posisi yang sangat dihormati dan dipercaya oleh masyarakat. Kewenangan yang dimiliki dokter, terutama dalam melakukan pemeriksaan fisik atau penanganan medis, memberi mereka kontrol besar terhadap pasien. Beberapa individu mungkin menyalahgunakan kekuasaan ini untuk tujuan yang tidak etis,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Jumat (18/4).
Lebih lanjut, dr. Iqbal menambahkan bahwa meski banyak sistem pengawasan sudah ada dalam dunia medis, ternyata dalam praktiknya masih ada celah yang memungkinkan penyimpangan perilaku.
“Misalnya, tidak ada sistem yang cukup memadai untuk mengidentifikasi atau mencegah potensi pelanggaran etik pada awalnya,” lanjut dr. Iqbal.
Selain penyalahgunaan kekuasaan, ada kemungkinan bahwa terdapat juga kasus kekurangan dalam pendidikan etika profesi medis. Dokter yang tidak diajarkan atau tidak cukup diberikan pemahaman mengenai batasan dalam hubungan profesional dan personal dengan pasien bisa rentan melakukan pelanggaran.
Oleh karena itu, ada beberapa langkah yang perlu diambil oleh pemangku kebijakan, di antaranya pendidikan etika yang lebih ketat, di mana pemangku kebijakan harus memastikan bahwa pendidikan dan pelatihan bagi tenaga medis, terutama dokter, menekankan pada pentingnya batasan etik yang jelas dalam berinteraksi dengan pasien.
“Ini harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan medis dan juga program pelatihan berkelanjutan,” tegasnya.
Selain itu, perlu adanya sistem pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik medis, termasuk pemeriksaan dan tindak lanjut yang lebih mendalam terhadap laporan pelanggaran etik.
“Sistem pelaporan yang aman dan transparan harus ditingkatkan agar pasien merasa lebih aman saat melapor,” katanya.
Diperlukan juga langkah menguatkan aturan dan perundang-undangan terkait kekerasan seksual dalam dunia medis. Pihak terkait, seperti organisasi profesi medis, harus memperkenalkan sanksi yang lebih tegas terhadap dokter yang terlibat dalam kekerasan seksual.
Bahkan, mereka harus siap bekerjasama dengan pihak berwajib untuk memastikan kasus tersebut ditangani dengan serius.
Institusi medis, seperti rumah sakit atau klinik juga harus memperkenalkan kebijakan yang lebih transparan dan jelas dalam mengelola interaksi antara tenaga medis dan pasien. Misalnya, adanya pengawasan lebih dalam dalam prosedur medis yang melibatkan pasien yang rawan, serta memastikan adanya pendampingan atau pemeriksaan ganda jika diperlukan.
“Perlu juga melakukan kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak pasien, serta cara untuk melaporkan jika mereka merasa diperlakukan tidak semestinya. Hal ini juga mencakup penyuluhan tentang pentingnya batasan profesionalisme dalam interaksi medis,” urainya.
Menurut dr. Iqbal, maraknya kasus kekerasan seksual dapat merusak reputasi dan kepercayaan publik terhadap dokter dan tenaga medis secara keseluruhan.
Oleh karena itu, langkah-langkah di atas sangat penting untuk memulihkan kepercayaan tersebut. Menjamin bahwa tenaga medis bertindak dengan integritas, profesionalisme, dan penghormatan terhadap pasien adalah kunci dalam memulihkan kepercayaan masyarakat.
Secara keseluruhan, pencegahan kekerasan seksual dalam dunia medis bukan hanya tugas individu atau institusi, tetapi juga membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi profesi, rumah sakit, dan masyarakat itu sendiri. (Des/M-3)