
PENGAMAT hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, mengatakan pengajuan atas permohonan perselisihan hasil pilkada adalah hak konstitusional setiap pasangan calon yang dijamin oleh UUD dan UU Pilkada. Hal itu menanggapi soal kritik PSU yang dianggap berlarut karena kembali ada gugatan dari peseeta pemilu.
“Pada dasarnya PSU merupakan koreksi atas penyelenggaraan pilkada sebelumnya yang dinilai MK tidak sejalan dengan asas dan prinsip pemilihan yang jujur, adil, dan demokratis,” kata Titi kepada Media Indonesia pada Rabu (16/4).
Titi menjelaskan apabila dalam pelaksanaan PSU ditemukan adanya pelanggaran yang mempengaruhi kredibilitas hasil pemilihan, maka pihak yang keberatan secara hukum bisa mengajukan sengketa hasil Pilkada ke MK.
“MK akan menilai apakah dalil yang diungkap pemohon beralasan atau tidak serta apakah akan mempengaruhi integritas hasil pemilihan atau tidak. Jangan sampai ada upaya untuk menghalangi upaya untuk memperjuangkan keadilan dalam pilkada,”
Kendati demikian, MK diharapkan mampu menangani setiap perkara secara profesional dan kredibel sehingga bisa memberikan keadilan pada para pihak secara berimbang.
Titi menilai, bagi daerah yang belum menyelenggarakan PSU, agar pilkada tidak berlarut-larut diharapkan pasangan calon tidak melakukan hal-hal yang menyimpang dalam penyelenggaraan PSU.
“Sebab pelanggaran dan penyimpangan yang terjadi bisa berdampak signifikan terhadap konstitusionalitas hasil,” tukasnya.
Selain itu, penyelenggara PSU Pilkada diharapkan dapat bekerja transparan, profesional, dan akuntabel. Menurutnya, pelatihan dan penguatan kapasitas petugas lapangan menjadi sangat krusial agar tidak ada masalah teknis dan administratif yang dapat mempengaruhi validitas hasil pemilihan.
“Selain itu sosialisasi menjadi sangat krusial agar pemilih dapat optimal mengikuti proses pemilihan dan memiliki informasi yang cukup terkait PSU yang berlangsung,” kata Titi.
Lebih jauh, Titi mengingatkan kepada peserta pilkada bahwa setiap pelanggaran yang mereka lakukan bakal merugikan mereka sendiri yang berakhir pada gugatan ulang di MK.
“Berdasar pengalaman sebelumnya, ada daerah yang harus melakukan PSU kembali atau PSU jilid dua akibat masih terjadinya pelanggaran dan kecurangan yang mempengaruhi hasil,” imbuhnya.
Selain itu, Titi juga menekankan bahwa pasangan calon harus memastikan jajaran tim sukses dan simpatisannya agar tidak melakukan pelanggaran atau tindakan menumpang lainnya.
Serta Bawaslu dan aparat keamanan lanjut Titi, harus bekerja profesional dan berintegritas dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum dalam penyelenggaraan PSU.
Menyoal batasan selisih antara pasangan calon yang bisa disidangkan di MK, menurut Titi ketentuan dalam UU sudah tegas mengatur hal tersebut.
Selain itu, ambang batas selisih tersebut tidak boleh membuat MK mengabaikan konstitusionalitas proses pemilihan. Menurut Titi, bisa saja suatu hasil diperoleh melalui proses yang bermasalah dan sarat pelanggaran.
“Persidangan di MK menjadi forum untuk menilai apakah memang benar telah terjadi persoalan dalam penyelenggaraan PSU yang berdampak atau berpengaruh terhadap konstitusionalitas hasil pilkada,” pungkasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin, meminta para peserta pemilu untuk tidak berlarut-larut dalam menanggapi hasil PSU Pilkada. Ia menekankan pentingnya Mahkamah Konstitusi (MK) untuk bersikap tegas dalam menangani sidang perselisihan hasil Pilkada.
Zulfikar juga mempertanyakan apakah proses sengketa Pilkada yang akan kembali diadili setelah PSU tersebut apakah akan berdampak pada sistem pemerintahan di daerah.
Zulfikar juga mendesak semua pihak untuk membuat pakta integritas agar sepakat PSU hanya dapat dilakukan sekali apabila gugatan dikabulkan oleh MK. (P-4)