
PAKAR epidemiologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada, dr. Citra Indriani, MPH., mengingaatkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan varian Nimbus diketahui merupakan turunan dari varian Omicron sebagai Variant Under Monitoring (VUM) sejak 23 Mei 2025.
Varian baru virus SARS-CoV-2 yang dikenal dengan nama Nimbus atau varian NB.1.8.1 mulai menarik perhatian dunia setelah penyebarannya meningkat di sejumlah negara Asia.
Citra Indriani, mengatakan mutasi pada virus SARS-CoV-2 merupakan hal yang wajar, sebagaimana karakteristik virus RNA pada umumnya. Menurut di , virus ini akan terus mengalami mutasi, seperti halnya virus influenza. “Saat ini, memang varian Nimbus sedang menjadi dominan, tetapi tidak hanya Nimbus yang bersirkulasi. Masih ada varian lain yang dipantau,” ujarnya di kampuns FK-KMK UGM, Kamis (3/7).
Dikatakan dari data global, tren varian NB.1.8.1 sempat meningkat signifikan pada bulan April, tapi kini sudah mulai menurun secara global. “Jadi meskipun disebut-sebut cukup dominan, ini belum tergolong varian yang mengkhawatirkan dari sisi keparahan penyakit,” jelasnya.
WHO sendiri telah mengklasifikasikan varian virus dalam tiga kategori utama berdasarkan karakteristik genetik dan dampak terhadap kesehatan masyarakat, yaitu Varian of Concern (VOC) atau varian yang perlu diwaspadai, Variant Under Monitoring (VUM) atau varian yang sedang dalam pemantauan, dan Variant of Interest (VOI) atau varian yang sedang diperhatikan. Varian Nimbus, kata Citra, saat ini berada dalam kategori VUM karena peningkatan jumlah kasus yang terpantau di beberapa negara.
Dikatakan, gejala infeksi varian Nimbus umumnya mirip dengan infeksi saluran pernapasan atas lainnya, seperti batuk dan pilek. Namun, kata Citra salah satu ciri khas yang banyak dilaporkan adalah nyeri tenggorokan yang tajam. Kendati demikian, ia menegaskan bahwa varian ini tidak menunjukkan tingkat keparahan atau fatalitas yang lebih tinggi dibandingkan varian sebelumnya, seperti Omicron atau Delta.
“Masih tidak ada indikasi bahwa Nimbus lebih parah atau lebih mudah menular dibanding varian sebelumnya. Transmisinya masih lewat droplet, kontak erat, dan napas, tidak berubah dari yang kita ketahui selama ini,” paparnya.
Seperti varian SARS-CoV-2 lainnya, kata Citra, kelompok lansia, individu dengan komorbiditas seperti diabetes, hipertensi, atau kanker, serta mereka yang belum mendapat vaksinasi lengkap tetap menjadi populasi yang paling rentan. Fatalitas biasanya terjadi pada mereka yang punya komorbid dan tidak memiliki riwayat vaksinasi.
Oleh karena itu, Citra juga menekankan bahwa vaksinasi memang tidak membuat seseorang 100% kebal, tapi sangat penting untuk mencegah keparahan.
Dengan tingginya mobilitas masyarakat antarnegara, kemungkinan varian Nimbus masuk ke Indonesia tentu sangat terbuka. Oleh karena itu, Citra menekankan pentingnya surveilans aktif di fasilitas layanan kesehatan. “Kalau ada gejala seperti flu, batuk pilek, segera istirahat, WFH jika memungkinkan, dan tetap gunakan masker. Etika batuk, cuci tangan, dan menjaga jarak itu kunci. Ini prinsip dasar Perilaku Hidup Bersih dan Sehat yang harus kita pertahankan,” ujarnya.
Meski varian Nimbus merupakan bagian dari proses alami evolusi virus COVID-19. Namun Citra mengimbau masyarakat untuk tidak panik, namun tetap waspada dengan cara menerapkan protokol kesehatan, menjaga imunitas, dan melengkapi vaksinasi, terutama bagi kelompok rentan.
“Peran serta masyarakat dan institusi kesehatan dalam melakukan pengamatan, pelaporan, dan edukasi sangat krusial untuk mencegah penyebaran secara luas dan menjaga stabilitas kesehatan masyarakat,” pungkasnya. (H-2)