
MAHKAMAH Konstitusi (MK) dalam putusannya memerintahkan penyelenggara pemilu agar memposisikan penegakan hukum pelanggaran administrasi pilkada memiliki kekuatan hukum mengikat seperti pemilu, sehingga tidak ada lagi perbedaan posisi dalam penanganan perkara administrasi pada pemilu dan pilkada.
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyatakan dengan tidak adanya perbedaan rezim pemilu dan rezim pilkada, semua ketentuan yang berkaitan dengan upaya mewujudkan pemilu yang berintegritas harus dibuat secara seragam agar semua masalah yang memiliki karakteristik yang sama diselesaikan dengan prosedur yang sama pula.
“Hal demikian perlu dilakukan agar terwujud kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilihan, baik pemilu maupun pilkada,” katanya dalam sidang putusan UU Pilkada di ruang sidang MK, Rabu (30/7).
Dalam pertimbangan hukumnya, MK mengatakan selama ini terdapat perbedaan atau ketidaksinkronan peran Bawaslu dalam menangani pelanggaran administrasi pemilu dengan pelanggaran administrasi pilkada. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam menangani pelanggaran administrasi pemilu, Bawaslu diberikan kewenangan untuk memutus pelanggaran administrasi pemilu dimaksud.
Hanya Rekomendasi?
Sementara itu, sambung Ridwan, Bawaslu dalam menangani pelanggaran administrasi Pilkada hanya sebatas memberikan rekomendasi atas hasil kajiannya, yang kemudian akan diperiksa dan diputus oleh KPU.
“Perbedaan demikian menurut Mahkamah menyebabkan kewenangan Bawaslu dalam menangani pelanggaran administrasi Pemilu menjadi lebih pasti karena putusan Bawaslu mengikat dan KPU wajib menindaklanjuti,” jelasnya.
Sedangkan, dalam menangani pelanggaran administrasi pilkada, lanjut Ridwan, kewenangan Bawaslu menjadi sangat tergantung pada tindak lanjut yang dilakukan oleh KPU karena hanya berupa rekomendasi. Hal ini karena KPU memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus rekomendasi yang dibuat oleh Bawaslu.
Sebabkan Kekeliruan?
Dengan perbedaan tersebut, menyebabkan kekeliruan dalam memaknai kewenangan masing-masing lembaga penyelenggara pemilu. Padahal, desain hukum pemilu, KPU dan Bawaslu (termasuk Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu/DKPP) secara struktur kelembagaan adalah sama-sama sebagai penyelenggara pemilu,” ucap Ridwan.
Selanjutnya, Ridwan menjelaskan ihwal penanganan pelanggaran administrasi pilkada berupa rekomendasi dan bukan berupa putusan, telah memosisikan penanganan pelanggaran administrasi hanya bersifat formalitas prosedural karena muara proses hukum yang dilakukan Bawaslu menjadi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dorong Integritas?
Padahal, kata Ridwan, dalam rangka mewujudkan pilkada yang berintegritas, diperlukan dasar hukum yang pasti sehingga dapat ditegakkan oleh penyelenggara pemilu termasuk ditegakkan oleh Bawaslu sehingga dapat dicegah dan diselesaikan segala bentuk pelanggaran termasuk pelanggaran administratif.
“0enanganan sengketa administratif dalam penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden oleh Bawaslu memiliki kekuatan mengikat dan KPU wajib menindaklanjuti, dengan telah diposisikan sama untuk semua rezim pemilihan, maka pelanggaran administrasi pilkada yang ditangani Bawaslu pun harus memiliki kekuatan hukum mengikat yang sama,” jelasnya.
“Atas dasar itu, KPU wajib menindaklanjuti hasil pengawasan yang dilakukan Bawaslu sehingga tidak perlu dikaji ulang oleh KPU/KPU provinsi/KPU kabupaten/kota atau sebutan lainnya,” lanjut Ridwan.
Jalankan Rekomendasi?
Ridwan juga menyampaikan dalam penanganan pelanggaran administratif pilkada, wewenang Bawaslu hanya berujung pada rekomendasi. Atas dasar tidak ada pembeda antara rezim pemilu dan pilkada, Mahkamah memutuskan memaknai kata ‘rekomendasi’ menjadi ‘putusan’ dan frasa “memeriksa dan memutus” harus dimaknai sebagai “menindaklanjuti putusan”.
“Demikian halnya terhadap pasal-pasal lain yang tidak dimohonkan Pemohon namun terdampak oleh putusan a quo maka keberlakuannya harus menyesuaikan dengan amar putusan a quo dan tidak diberlakukan untuk Pilkada Tahun 2024 yang saat ini masih berjalan. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para pemohon adalah beralasan menurut hukum,” ujar Ridwan.
Perbedaan Rezim?
Selain itu berkaitan dengan konteks hukum kepemiluan yang tidak lagi memuat perbedaan antara rezim pemilu dengan rezim pilkada, Mahkamah mengingatkan agar pembentuk undang-undang menyelaraskan semua dasar pengaturan yang berkaitan dengan upaya mewujudkan pemilihan yang baik dan berintegritas.
Segera Direvisi?
Pembentuk undang-undang perlu segera merevisi undang-undang yang berkenaan dengan pemilu, khususnya harmonisasi substansi hukum pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden dengan substansi hukum pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah, termasuk pengaturan penguatan kelembagaan penyelenggara pemilu.
“Upaya penyelarasan tidak hanya mencegah dualisme pengaturan yang berpotensi tumpang tindih, tetapi juga memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan setara bagi seluruh warga negara dalam menggunakan hak politiknya terutama dalam mewujudkan asas pemilu dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,” tukas Ridwan. (Dev/P-3)