
HUBUNGAN antara Iran dan Israel merupakan salah satu faktor penentu arah dan situasi geopolitik dunia. Ketegangan yang telah berlangsung lama di antara kedua negara ini sering membawa keduanya ke titik kritis. Salah satunya terlihat dalam perang 12 hari yang berlangsung sejak 13 Juni 2025 hingga 25 Juni 2025, yang semakin memperbesar risiko konflik serius di kawasan.
Confidence-Building Measures (CBM)
Penyerangan Israel terhadap Iran dilakukan karena kecurigaan bahwa Iran tengah mengembangkan senjata nuklir. Dalam konteks ini, Confidence-Building Measures (CBM) atau langkah-langkah membangun kepercayaan dapat menjadi salah satu alternatif konstruktif untuk meredakan konflik yang bersifat invasif.
CBM menawarkan mekanisme keterbukaan informasi tertentu guna mengurangi kecurigaan negara satu sama lain. Berdasarkan definisi United Nations Institute for Disarmament Research (UNIDIR) tahun 1991, CBM merupakan sistem yang berkontribusi untuk mengurangi, bahkan menghilangkan permusuhan, ketakutan, dan ketidakpercayaan terkait kegiatan atau persenjataan negara-negara tetangga di kawasan.
Benih eskalasi konflik antara Iran dan Israel sudah lama tertanam. Keduanya telah terlibat dalam perang proksi, saling mendukung kelompok yang berseberangan. Iran secara terbuka mendukung kelompok seperti Hamas dan Hizbullah, yang berkonflik langsung dengan Israel. Di Suriah, Iran juga memberikan dukungan kepada pasukan Bashar al-Assad. Sebaliknya, Israel terlibat dalam operasi militer di Suriah dan mendukung kelompok oposisi untuk menghadapi Assad dan sekutunya, yakni Iran.
Pasca eskalasi terbaru, Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menyatakan bahwa terdapat ketidakpercayaan mendalam terhadap Amerika Serikat dan Israel. Ia bahkan meragukan apakah Iran dapat mempercayai keduanya lagi, mengingat sebelum serangan pertama Israel pada 13 Juni 2025, Iran telah melakukan lima kali perundingan dengan Amerika Serikat terkait fasilitas nuklirnya. Namun, dua hari sebelum sesi perundingan keenam dimulai, Israel justru melakukan serangan mendadak ke wilayah Iran, yang dapat dianggap sebagai bentuk sabotase upaya diplomatik yang sedang diupayakan.
Di tengah kerapuhan gencatan senjata antara Iran dan Israel, CBM dapat berperan sebagai instrumen membangun kepercayaan dengan biaya relatif rendah dan risiko minimal. CBM juga bisa menjadi indikator bahwa terdapat keseriusan dari pihak-pihak terkait untuk mencegah konflik berkembang lebih jauh.
Langkah serupa pernah ditempuh oleh India dan Pakistan. Pada 2007 dan 2011, kedua negara sepakat melalui The Agreement on Reducing the Risk from Accidents Relating to Nuclear Weapons dan The Non-Attack Agreement. Kesepakatan tersebut menjadi bukti nyata CBM untuk menghindari kesalahpahaman persepsi, dengan cara saling bertukar informasi mengenai fasilitas nuklir, pusat komando, uji coba, serta notifikasi peluncuran misil balistik. Pendekatan ini terbukti efektif dalam mencegah eskalasi konflik, meskipun tidak bersifat permanen.
Dalam konteks Iran dan Israel, langkah CBM dapat dimulai dengan membangun perjanjian atau saluran komunikasi khusus antar kedua negara untuk bertukar informasi mengenai aktivitas fasilitas nuklir, uji coba misil balistik, maupun kegiatan militer lainnya. Transparansi semacam ini akan membantu mengurangi ketegangan dan mencegah salah persepsi, sekaligus memfasilitasi pertukaran data penting seperti perkembangan teknologi nuklir.
Hambatan Besar
Perbedaan politik dan ideologi yang sangat mendasar menjadi hambatan besar bagi kedua negara. Meskipun efektivitas CBM dalam menekan konflik belum sepenuhnya teruji di kasus Iran–Israel, pendekatan ini layak dipertimbangkan sebagai stimulus untuk mencegah eskalasi lebih lanjut.
Iran, dengan ideologi yang menentang sekularisme dan dominasi Barat, harus menanggung isolasi serta sanksi ekonomi dan militer. Namun, di sisi lain, Iran menunjukkan sikap terbuka terhadap dunia internasional, seperti kesediaan diawasi oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) terkait proyek nuklirnya. Iran menegaskan bahwa proyek nuklirnya ditujukan untuk kepentingan energi, yang dibuktikan melalui kesediaannya bernegosiasi dengan Amerika Serikat, menandatangani Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT), serta menyetujui pembatasan program nuklirnya dalam Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Sikap ini menunjukkan bahwa Iran cukup terbuka terhadap jalur diplomasi konstruktif.
Sebaliknya, Israel memilih prinsip ambiguitas terkait fasilitas nuklirnya, tidak pernah secara resmi mengakui atau menyangkal kepemilikan senjata nuklir. Israel tidak ikut menandatangani NPT, bahkan menentang keras JCPOA. Ditambah lagi, Israel seringkali menganggap negara-negara Arab di sekitarnya sebagai ancaman, yang membuatnya tak segan melakukan penyerangan sepihak, termasuk ke Iran baru-baru ini, serta ke Mesir pada 1967.
Melalui peran aktifnya dalam JCPOA, NPT, dan berbagai perundingan internasional, Iran menunjukkan keseriusan dalam upaya perlindungan dunia dari ancaman senjata nuklir, sekaligus membuka peluang kerja sama melalui mekanisme CBM. Sebaliknya, sikap Israel yang ambigu dan penolakannya terhadap perjanjian internasional menunjukkan kecenderungan untuk bertindak sepihak demi kepentingan strategis, sehingga peluangnya untuk berpartisipasi dalam CBM relatif kecil.
Keberhasilan penerapan CBM akan sangat bergantung pada niat kedua belah pihak untuk mengubah status quo. Apakah Iran bersedia terus membuka ruang diplomasi? Apakah Israel mau menghentikan aksi sepihaknya?
Apapun jawabannya, CBM tetap menjadi jalur yang patut dipertimbangkan. Meskipun tidak akan sepenuhnya menghapus konflik, CBM dapat menjadi katalisator peredam konflik yang efektif, memberi ruang untuk membangun kepercayaan dan meredakan ketegangan, setidaknya dalam jangka waktu tertentu.