
KEBIJAKAN tarif resiprokal yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat memberikan dampak kepada Indonesia, baik sscara langsung maupun tidak langsung. Keputusan Negeri Paman Sam untuk melindungi ekonomi domestik melalui perubahan tarif perdagangan internasional memberikan ancaman terhadap daya saing ekspor dan ketahanan ekonomi Indonesia.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) PR Lestari Moerdijat dalam Forum Diskusi Denpasar 12 bertajuk Dampak "Trump Reciprocal Tariffs" Terhadap Ketahanan dan Daya Saing Ekonomi Indonesia di Era Perdagangan Global yang Berubah secara daring, Rabu (16/4).
Dia mengatakan, kebijakan tarif itu diterapkan kepada negara-negara yang mengalami surplus neraca perdagangan, termasuk Indonesia. Menurut Lestari, kondisi ini harus direspons dengan cermat.
"Indonesia termasuk salah satu negara dengan nilai ekspor yang cukup material. Mau tidak mau, kita harus memahami bahwa yang kita hadapi adalah tantangan besar terhadap ketahanan dan daya saing kita," tuturnya.
Dampak nyata dari kebijakan tersebut, lanjut Lestari, akan terlihat dalam penurunan daya saing produk Indonesia di pasar global serta gangguan rantai pasok yang kini mulai terasa. "Gangguan rantai pasokan global ada di depan mata. Dalam situasi seperti ini, kita tidak bisa pasif. Kita harus membangun peluang dan menyusun strategi yang terencana. Dan yang paling penting adalah diplomasi," ungkapnya.
Lestari mengapresiasi langkah pemerintah yang telah menurunkan delegasi untuk membuka dialog dengan pihak Amerika Serikat. Namun, ia menekankan perlunya pendekatan yang lebih fundamental dan berpijak pada amanat konstitusi.
"Dalam kerangka UUD 1945, arah pembangunan ekonomi harus berorientasi pada penciptaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan kemakmuran rakyat. Dalam konteks perdagangan global, distribusi manfaat harus merata," jelasnya.
Ia juga menyoroti dampak langsung yang sudah mulai terasa, seperti pelemahan nilai tukar rupiah dan tekanan terhadap ekspor. Semua itu, kata Lestari, menuntut respons kebijakan yang adaptif dan progresif.
Manfaatkan Waktu Jeda
Sementara itu, Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esti Widya Putri mengatakan, penundaan penerapan penuh kebijakan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat merupakan peluang strategis yang harus dimanfaatkan Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan nasional.
"Penundaan tersebut menjadi peluang bagi Indonesia untuk melakukan diplomasi proaktif agar kepentingan-kepentingan nasional kita bisa diamankan," katanya.
Pemerintah, menurut Dyah, telah menyiapkan delegasi yang akan diberangkatkan ke Amerika Serikat untuk melanjutkan negosiasi dan menyampaikan posisi nasional secara komprehensif.
"Masa jeda ini harus kita manfaatkan untuk memperjuangkan perlakuan tarif yang adil serta mengidentifikasi sektor-sektor prioritas yang perlu dilindungi. AS adalah mitra dagang strategis dan penundaan ini membuka ruang untuk pendekatan diplomatik yang lebih terstruktur," terang Dyah.
Ia menyebut sejumlah sektor padat karya seperti tekstil, garmen, alas kaki, kelapa sawit, komponen elektronik, hingga otomotif sebagai sektor yang paling terdampak dan perlu mendapat perhatian khusus. Sektor-sektor tersebut, kata Dyah, bukan hanya berorientasi ekspor, tetapi juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar terutama di daerah-daerah.
Karenanya, pemerintah telah menyiapkan tiga pendekatan strategis sebagai respons, yaitu, diplomasi aktif, solidaritas regional, dan diversifikasi pasar. Indonesia, imbuh Dyah, mendorong dialog terbuka dengan AS, tidak hanya di tingkat federal, tetapi juga negara bagian dan pelaku industri mereka yang bergantung pada rantai pasok dari Indonesia.
Indonesia juga memperkuat koordinasi dengan negara-negara ASEAN. Dyah mengungkapkan, pertemuan virtual menteri perdagangan ASEAN baru-baru ini menghasilkan pernyataan bersama yang menekankan pentingnya ASEAN’s centrality and unity dalam menghadapi tekanan tarif dari AS.
"Indonesia juga mendukung inisiatif Malaysia untuk membangun dialog terstruktur dengan AS dan sedang menyusun analisa teknis atas dampak kebijakan tersebut," terang Dyah.
Selain itu, Indonesia sedang menyelesaikan lima perjanjian dagang penting sebagai bagian dari strategi diversifikasi pasar, yaitu Indonesia-Canada CEPA, Indonesia-Peru CEPA, Indonesia-EU CEPA, Indonesia-Iran PTA, dan Amandemen Protokol IJEPA.
"Ini bukan hanya respons terhadap kebijakan AS, tetapi bagian dari strategi jangka panjang kita yang sudah dirancang sejak awal," jelas Dyah.
Perkuat Ekonomi Domestik
Sedangkan Direktur Pascasarjana Universitas Airlangga Badri Munir Sukoco menyerukan perlunya Indonesia memanfaatkan kekuatan pasar domestik untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing ekonomi di tengah tren deglobalisasi global dan ketegangan geopolitik.
Menurutnya, Indonesia terlalu terpaku pada dinamika global dan lupa bahwa kekuatan terbesar justru ada di dalam negeri. "Ketika kompleksitas ekonomi suatu negara meningkat, maka nilai tambah produknya akan ikut naik, dan ujungnya PDB ikut terdongkrak," kata Badri.
Badri mencontohkan bagaimana Amerika Serikat mengalami penurunan kompleksitas ekonomi dari peringkat 7 dunia pada tahun 2000 menjadi peringkat 14 pada 2022. Sementara itu, Indonesia juga mengikuti tren yang sama dari peringkat 54 di tahun 2000, turun ke 78 pada 2022, meski sedikit naik ke 70 di tahun berikutnya.
"Barang yang kita jual mayoritas masih berupa minyak, gas, dan CPO. Sementara Vietnam, dari peringkat 94 di tahun 2000, sekarang sudah naik ke 53. Itulah kenapa kontrak manufaktur global banyak lari ke sana," jelasnya.
Badri mendorong Indonesia untuk membangun ekosistem super creative core, yakni wirausaha berbasis pengetahuan (knowledge-based entrepreneurs) yang bisa menggantikan ketergantungan pada produk impor.
"Kalau satu usaha knowledge base bisa serap 20 pekerja, kita butuh 200.000–250.000 usaha baru. Itu bisa bantu penciptaan lapangan kerja dan memperkuat struktur ekonomi kita," kata Badri
Dia juga memperingatkan bahaya pengangguran terdidik jika anak muda tidak diberi ruang aktualisasi. Ia mencontohkan model Tiongkok yang mendorong kompetisi kewirausahaan berbasis inovasi di tingkat kabupaten hingga nasional, yang akhirnya menjadi basis munculnya BUMN dan BUMD baru.
"Tiongkok punya 180 ribu BUMN dan 900 ribu BUMD, lahir dari kompetisi yang dibiayai negara. Indonesia bisa adopsi pendekatan serupa, tapi perlu komitmen kuat dari pemerintah pusat hingga daerah," tutur Badri.
Lebih lanjut, dia juga mendorong agar menutup Indonesia berani bicara tentang kepentingan nasional dan berhenti sekadar menjadi pasar bagi produk asing. "Kalau kita tidak mengelola domestic market kita sendiri sebagai fondasi pertumbuhan, mimpi jadi negara maju hanya akan tinggal wacana," kata Badri.
Lakukan Reindustrialisasi
Direktur Riset dan Pemikiran Institut Peradaban Tarli Nugroho mengatakan, memanasnya perang dagang imbas kebijakan AS bukan sesuatu hal yang baru terjadi. Pada periode pertama pemerintahan Trump, perang dagang memang memberi keuntungan sesaat dengan meningkatnya ekspor Indonesia ke AS.
Tapi di saat yang sama, impor dari Tiongkok melonjak karena negeri Tirai Bambu mencari pasar baru. "Dan Indonesia jadi targetnya," kata Tarli.
Karenanya, guna menghindari hal serupa terjadi kembali di Tanah Air. Tarli mendorong agar Indonesia memanfaafkan potensi yang ada di dalam negeri. Itu salah satunya dapat dilakukan dengan memperkuat industri di Tanah Air.
"Kita terlalu lama membiarkan pasar domestik hanya jadi pasar konsumsi. E-commerce kita dipenuhi barang impor murah. Ini membuat konsumsi kita tidak menciptakan industri hulu," kata dia.
"Reindustrialisasi harus jadi agenda utama. Tapi itu tidak bisa hanya dengan niat, dibutuhkan investasi besar, dan lebih penting lagi, kelembagaan yang kuat," tambah Tarli.
Dia meyakini aspek nasionalisme dalam perekonomian tak dapat dikerdilkan. Banyak negara dinilai mengalami kemajuan ekonomi lantaran mengedepankan aspek nasionalisme sembari pula memperkuat berbagai kerja sama dengan negara lainnya.
"Setiap negara sedang membela kepentingannya. Kita juga harus begitu. Nasionalisme penting, tapi jangan anti kerja sama. Politik luar negeri bebas aktif kita harus dijaga, tapi berpihak pada kepentingan ekonomi nasional," pungkas Tarli. (Mir/I-1)