Ilmuwan Makin Dekat Ciptakan Sel Sperma dan Sel Telur Manusia di Laboratorium

5 hours ago 3
Ilmuwan Makin Dekat Ciptakan Sel Sperma dan Sel Telur Manusia di Laboratorium Ilustrasi(freepik)

PARA ilmuwan hanya berjarak beberapa tahun dari pencapaian besar: menciptakan sel telur dan sperma manusia di laboratorium. Kemajuan ini dapat membuka jalan baru dalam reproduksi, termasuk kemungkinan anak biologis dari pasangan sesama jenis atau individu yang tidak subur.

Prof. Katsuhiko Hayashi, ahli genetika perkembangan dari Universitas Osaka yang dikenal sebagai pelopor dalam bidang ini, mengatakan timnya mungkin hanya butuh tujuh tahun lagi untuk mencapainya. Teknologi ini dikenal sebagai in-vitro gametogenesis (IVG) — proses mengubah sel kulit atau darah manusia dewasa menjadi sel reproduktif seperti sel telur dan sperma.

“Rasanya seperti sedang berlomba,” kata Hayashi dalam wawancara dengan The Guardian, sebelum presentasinya di konferensi tahunan European Society of Human Reproduction and Embryology (ESHRE) di Paris pekan ini. “Tapi saya berusaha tetap berpegang pada nilai-nilai ilmiah.”

Selain laboratorium Hayashi, dua entitas lain yang juga berada di garis depan IVG adalah tim dari Universitas Kyoto dan perusahaan rintisan asal California, Conception Biosciences — yang didukung investor Silicon Valley termasuk pendiri OpenAI, Sam Altman.

CEO Conception, Matt Krisiloff, menyebut telur buatan laboratorium bisa menjadi solusi untuk menurunnya angka kelahiran. “Mampu memperpanjang ‘jam biologis’ wanita adalah hal besar. Dalam jangka panjang, teknologi ini bisa menjadi alat terbaik kita untuk menghadapi penurunan populasi,” ujarnya.

Langkah-Langkah Menuju IVG

Proses IVG dimulai dengan mengubah sel dewasa menjadi sel punca (stem cell). Dari sana, sel tersebut diarahkan menjadi sel germinal primitif, cikal bakal sel telur atau sperma. Selanjutnya, sel-sel ini ditempatkan ke dalam organoid (organ mini buatan dari sel punca) seperti testis atau ovarium buatan, untuk meniru sinyal biologis yang diperlukan hingga sel-sel berkembang menjadi sel telur atau sperma yang matang.

Dalam eksperimen terbaru, tim Hayashi berhasil menumbuhkan sel prekursor sperma (spermatosit) di dalam testis buatan tikus, meski sel-sel itu mati sebelum matang. Diharapkan versi organoid berikutnya yang memiliki suplai oksigen lebih baik bisa membawa hasil lebih jauh.

Hayashi memperkirakan sperma manusia hasil laboratorium akan bisa dikembangkan dalam waktu sekitar tujuh tahun. Untuk sperma dari sel perempuan, ia menyebutnya sebagai tantangan teknis besar, tetapi tidak mustahil.

Potensi Aplikasi dan Tantangan Etika

Ke depan, IVG bisa memungkinkan siapa pun—terlepas dari usia atau kondisi kesuburan—untuk memiliki anak biologis. Bahkan, Hayashi sebelumnya sudah berhasil menciptakan bayi tikus dari dua induk jantan.

Namun, masih banyak hal yang perlu diuji, terutama soal keamanan. “Kami benar-benar harus membuktikan bahwa teknologi ini aman,” tegas Hayashi.

Di Inggris, penggunaan sel buatan untuk keperluan fertilitas saat ini masih dilarang. Regulator seperti Human Fertilisation and Embryology Authority (HFEA) pun mulai membahas kerangka pengujian dan regulasi teknologi ini sebelum digunakan secara klinis.

Prof. Rod Mitchell dari Universitas Edinburgh mengatakan perkembangan ini nyata. “Masyarakat mungkin belum menyadari seberapa cepat ilmu ini bergerak. Mungkin dalam lima hingga sepuluh tahun, kita benar-benar akan melihat sperma atau sel telur dari sel belum matang,” katanya.

Kemungkinan Radikal: Anak dari Satu Orang Tua atau Lebih dari Dua

Selain potensi membantu pasangan tidak subur atau pasangan sesama jenis, teknologi ini juga membuka pintu bagi kemungkinan ekstrem seperti:

Unibabies: Anak yang lahir dari sperma dan sel telur buatan dari satu orang.

Multiplex babies: Anak dengan tiga atau lebih kontribusi genetik orang tua.

Meski terdengar seperti fiksi ilmiah, secara teknis hal ini mungkin. Namun, para ahli mengingatkan bahwa regulasi dan etika harus menjadi landasan utama sebelum melangkah lebih jauh.

“Saya pribadi percaya bahwa jika kita bisa mencegah penyakit genetik di masa depan, itu adalah hal baik. Tapi kita juga tidak boleh terbawa arus,” ujar Krisiloff.

Sementara itu, Prof. Hank Greely dari Stanford menambahkan, “Dunia ini luas dan penuh orang-orang dengan ide besar—beberapa di antaranya sangat kaya. Jadi jangan heran jika kelak ada yang benar-benar mencoba hal-hal seperti ini.” (The Guardian/z-2)

Read Entire Article
Global Food