
ANGGOTA Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menilai program Makan Bergizi Gratis (MBG) harus dikawal lebih ketat sehingga tujuan utama memperbaiki gizi dan menggerakkan ekonomi rakyat kecil tidak terhambat. Ia menilai program ambisius ini baik tetapi pelaksanaannya belum aman.
"MBG adalah program ambisius yang patut diapresiasi, tetapi pelaksanaannya belum sepenuhnya aman dan efektif. Banyak pelajaran dari tahun pertama yang harus dibenahi,” kata Edy, Minggu (19/10).
Laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) pada 13 Oktober mencatat, sejak awal pelaksanaan, sebanyak 11.566 anak mengalami keracunan setelah mengonsumsi makanan dari penyelenggara MBG. Sebagian besar korban mengalami gejala mual, muntah, hingga diare. Menurut Edy, fakta ini menegaskan lemahnya sistem keamanan pangan di lapangan, sekaligus belum tuntasnya regulasi tata kelola program.
"Pemerintah memang menyebut rancangan Peraturan Presiden tentang MBG sedang dalam proses harmonisasi. Tapi program ini sudah berjalan hampir setahun tanpa payung hukum yang jelas. Akibatnya, pelaksanaan di lapangan cenderung semrawut," ungkap politisi PDI Perjuangan itu.
Hingga Oktober 2025, Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat terdapat 11.567 Satuan Pelaksana Pangan Bergizi (SPPG) yang beroperasi di seluruh Indonesia. Program ini telah menjangkau 35,8 juta penerima manfaat, dengan 9.026 UMKM lokal terlibat dalam rantai pasok bahan baku dan penyediaan makanan.
Untuk memperkuat tata kelola, pemerintah mulai mewajibkan seluruh SPPG memiliki Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi (SLHS), merevisi petunjuk teknis (juknis) dan SOP, memberikan sanksi pemberhentian kepada kepala SPPG yang lalai, memperketat verifikasi penyelenggara, serta melaksanakan audit keamanan pangan dan keuangan bersama BPKP.
Langkah lain yang dilakukan adalah pelatihan penjamah makanan, kewajiban ketersediaan rapid test kit untuk uji cepat kualitas bahan pangan, dan akreditasi terhadap setiap SPPG sebelum beroperasi.
“Langkah-langkah ini patut diapresiasi sebagai respons cepat, tetapi seharusnya menjadi sistem permanen, bukan tindakan reaktif. Keamanan pangan harus menjadi budaya kerja, bukan sekadar prosedur administratif,” ujar Edy.
Secara ekonomi, sambung dia, MBG mulai menggerakkan UMKM pangan, petani, dan nelayan lokal. Namun Edy menilai, indikator dampak ekonomi program masih harus diuji dengan data konkret.
“Pembentukan SPPG di daerah 3T masih belum merata. Artinya, manfaat ekonomi MBG belum dirasakan secara setara. Kita perlu evaluasi lebih lanjut agar tidak terjadi ketimpangan,” ujarnya.
Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, angka stunting nasional menurun dari 21,5 persen menjadi 19,8 persen. Menurut Edy menurunkan stunting tidak bisa diukur dalam satu tahun. Intervensi gizi harus dilakukan sejak remaja, calon pengantin, ibu hamil, hingga anak usia dua tahun. MBG hanya salah satu bagian dari rantai panjang itu. Untuk memastikan efektivitas program, Kementerian Kesehatan dan BGN melakukan survei gizi tahunan terhadap kelompok sasaran MBG.
"Keberhasilan MBG tidak bisa diukur dari jumlah porsi yang dibagikan, tapi dari perubahan nyata, yakni gizi anak membaik, kasus keracunan menurun, ekonomi lokal bergerak, dan sistem pengawasan bekerja," pungkasnya. (H-4)