
SEBAGAI bagian dari komitmen membangun dunia yang lebih ramah lingkungan melalui kolaborasi lintas negara, Singapore International Foundation (SIF) meluncurkan Climate Hack, sebuah program tahunan sejak 2021 yang kini berkembang menjadi platform regional penghasil solusi iklim berbasis teknologi.
Program ini bukan sekadar kompetisi inovasi, melainkan gerakan pemuda Asia untuk menciptakan perubahan nyata di tengah krisis iklim yang semakin mendesak.
“Kami percaya bahwa solusi iklim terbaik lahir dari kolaborasi lintas budaya, lintas negara, dan lintas disiplin. Climate Hack menjadi ruang tempat semangat itu bertumbuh dan menghasilkan dampak nyata,” ujar Wakil Direktur Kerjasama Pembangunan Internasional SIF Rebecca Boon.
Ia menjelaskan bahwa program ini telah melatih hampir 1.000 pemuda dari 30 negara sejak pertama kali digelar, dan terus berkembang seiring meningkatnya tantangan iklim di kawasan Asia.
Pada 2024, Climate Hack mengangkat isu-isu krusial seperti pengelolaan sumber daya alam, limbah, transportasi, hingga pertanian dan kehutanan, sejalan dengan laporan ASEAN mengenai keadaan perubahan iklim.
Platform ini terbukti sukses menghadirkan tim-tim lintas negara yang tidak hanya menawarkan inovasi teknologi, tetapi juga menggambarkan bagaimana perbedaan bisa menjadi kekuatan utama dalam menghadapi tantangan global.
Salah satu tim yang mencuri perhatian adalah SustainIQ, gabungan pemuda dari Indonesia, Pakistan, Malaysia, dan Filipina ini berhasil memenangkan Pitch Day Climate Hack 2024 karena kreativitas, kemampuan persuasif, kerja sama tim, serta dampak dan kelayakan solusi mereka.
Tim SustainIQ mengembangkan sistem pemilahan sampah makanan berbasis Internet of Things (IoT). Dengan sensor yang mampu mendeteksi gas metana dan memilah sampah otomatis, tim ini berharap solusi mereka dapat diterapkan di pusat-pusat pengelolaan sampah di kawasan perkotaan, termasuk Jakarta.
“Sensor ini tidak hanya meningkatkan efisiensi pemilahan sampah, tapi juga bisa menyelamatkan masyarakat sekitar dari paparan gas metana dan bau menyengat. Ini solusi yang aman, murah, dan berbasis data,” ujar perwakilan dari Indonesia dalam tim SustainIQ Mochamad Faisal Rasid.
Ia menambahkan mereka tengah menjajaki kolaborasi dengan pihak pengelola Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Pulo Gebang, serta berharap dapat menerapkan sistem ini di RDF Rorotan untuk memantau tumpukan sampah dan menjaga kualitas udara.
Sementara itu, tim Ecovolve turut memperkaya kompetisi dengan pendekatan pada edukasi lingkungan. Mereka merancang aplikasi berbasis gim untuk mengedukasi anak-anak tentang keberlanjutan dan daur ulang limbah.
Tim ini percaya bahwa membangun kesadaran sejak usia dini akan menciptakan generasi baru yang peduli terhadap bumi.
“Kalau kita ingin perubahan jangka panjang, kita harus mulai dari yang paling muda. Anak-anak adalah agen perubahan masa depan,” ungkap salah satu anggota tim Ecovolve.
Tim Ecovolve (Kamboja, Indonesia, dan Singapura), menerima penghargaan People's Choice Award. Penghargaan ini didasarkan pada pemungutan suara di media sosial menjelang Pitch Day oleh para penonton yang hadir secara langsung di lokasi acara.
Lebih dari sekadar program kompetitif, Climate Hack juga membangun ekosistem berkelanjutan melalui alumni network yang kuat. Tim-tim yang berpartisipasi, baik menang maupun tidak, tetap mendapatkan akses ke jejaring mentor, organisasi, dan peluang kolaborasi di masa depan.
“Kami ingin memastikan bahwa dampak program ini tidak berhenti di hari Pitch Day. Dengan ekosistem alumni SIF, kami terus mendampingi mereka melangkah lebih jauh,” ujar Rebecca Boon.
Dalam sesi presentasi final Pitch Day pada 22 Februari lalu, peserta dari berbagai negara—termasuk Indonesia, Vietnam, dan India—berbagi cerita dan solusi tentang krisis iklim yang mereka hadapi.
Salah satunya adalah Josiah Enrico, peserta dari Indonesia, yang mengaku tersentuh saat mengetahui bahwa gangguan kesehatan akibat perubahan suhu yang ia alami di Indonesia ternyata serupa dengan yang dialami warga di Ho Chi Minh, Vietnam.
Kisah tersebut dibagikan oleh Khanh Tong Le Van, yang menyoroti meningkatnya penyakit kulit dan gangguan pernapasan akibat gelombang panas.
“Meskipun setiap negara memiliki tantangan berbeda, ternyata banyak persoalan yang serupa. Climate Hack membuat saya sadar bahwa kita tidak bisa bekerja sendiri dalam menghadapi krisis ini,” ujar Josiah.
Program ini pun sejalan dengan Singapore Green Plan 2030, yang merupakan strategi nasional Singapura untuk pembangunan berkelanjutan. Climate Hack dan program lainnya seperti Southeast Asia Partnership for Adaptation through Water (SEAPAW) menjadi bukti nyata keterlibatan generasi muda dalam transformasi hijau kawasan Asia Tenggara.
SIF juga membuka peluang kolaborasi dengan berbagai institusi di Indonesia, dengan rekam jejak lebih dari 100 inisiatif bersama dalam tiga dekade terakhir.
“Kami percaya bahwa kekuatan perubahan terletak pada kolaborasi. Indonesia adalah mitra penting, dan kami siap membuka ruang kerja sama seluas-luasnya,” ujar Rebecca Boon.
Climate Hack 2024 bukan hanya tentang siapa yang menang, tapi tentang membangun solidaritas lintas negara, mendukung pemuda dalam menyuarakan perubahan, dan membuktikan bahwa dari ide-ide kecil, bisa lahir solusi besar. (Z-1)