
POLEMIK dana APBD Provinsi Jawa Barat (Jabar) yang mengendap di bank terus berlanjut. Namun, Gubernur Jabar Dedi Mulyadi (Demul) kembali menegaskan hingga hari ini tidak ada dana mengendap dalam bentuk deposito di Bank BJB.
Gubernur mengakui ada dana tersimpan di bank, namun merupakan dana kas daerah senilai Rp2,6 triliun yang dapat digunakan setiap saat jika dibutuhkan.
"Angka Rp2,6 triliun itu sama dengan data yang ada di Kemendagri, data itu berasal dari pelaporan keuangan Badan Pengelolaan Keuangan Daerah," ungkap Dedi usai bertemu dengan Menteri Dalam Negeri di Kementerian Dalam Negeri, Rabu (22/10) malam.
Menurut Demul, berdasarkan rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), anggaran kegiatan pembangunan yang melalui lelang bisa saja disimpan dalam bentuk deposito on call, yang sifatnya dapat diambil setiap saat. Namun, saat ini tidak ada dana di deposito dan anggaran tersimpan dalam bentuk giro.
Ada yang tidak bisa dibelanjakan sekaligus seperti pengadaan barang dan jasa melalui mekanisme lelang. Maka pembayaran pemenang tender dilakukan juga secara bertahap.
"Nah, ketika menunggu pembayaran berjalan itu, rekomendasi BPK bisa disimpan dalam bentuk deposito on call, yang dapat diambil setiap saat. Bunga deposito bisa masuk sebagai pendapatan lain di APBD," terangnya.
Namun demikian, Demul akan berkunjung ke Bank Indonesia untuk meminta informasi terkait adanya dana deposito Rp4,1 triliun seperti disampaikan Menkeu.
"Saya akan langsung ke BI setelah bertemu Mendagri untuk menanyakan hal ini," tandasnya.
Sebelumnya, kedatangan Demul ke Kementerian Dalam Negeri di Jakarta menanggapi pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa yang menyebut ada dana deposito milik pemerintah daerah yang mengendap di bank daerah. Purbaya mendapat sumber data dari BI.
"Dana disimpan di BJB sebab, kan, tidak mungkin disimpan di brankas. Nilainya juga fluktuatif naik turun sesuai penggunaannya," paparnya.
Sementara itu pengamat ekonomi Universitas Pasundan, Acuviarta Kartabi menilai perbedaan data antara Kemenkeu dengan laporan Pemprov Jabar bisa jadi disebabkan oleh keterlambatan pelaporan atau perbedaan waktu pencatatan.
“Menurut pendapat saya, gubernur memang harus mendapatkan laporan realisasi belanja yang paling mutakhir. Bisa jadi sifatnya outstanding, ada lag data. Saat data diinput oleh Bank Indonesia atau pelaporan bank, mungkin saja terjadi selisih,” terangnya.
Acuviarta menjelaskan, perbedaan yang muncul antara data yang disampaikan oleh Menkeu Purbaya, Mendagri Tito Karnavian, dan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi bisa disebabkan karena proses pencairan anggaran yang belum sepenuhnya terekam dalam sistem.
Biasanya realisasi belanja itu memang meningkat di bulan November. Kalau APBD Jabar sekitar Rp31 triliun, pencairan terbesar terjadi di akhir tahun. Jadi bisa saja dana yang disebut itu masih dalam proses pencairan.
“Langkah gubernur sebaiknya adalah melakukan konfirmasi langsung kepada pihak bank yang menjadi penyalur dana daerah, jangan hanya percaya pada laporan dari BPKAD. Harus ada sinkronisasi data antar pihak agar tidak menimbulkan kesalahpahaman,” tandangnya.
Terkait temuan bahwa sebagian dana Pemprov Jabar disimpan dalam bentuk deposito, Acuviarta mengungkapkan bahwa praktik tersebut perlu diperhatikan secara serius.
Dana APBD seharusnya digunakan untuk kegiatan belanja publik, bukan untuk memperoleh bunga dari deposito.
“Kalau dana itu berasal dari APBD, sebenarnya tidak boleh didepositokan. Harus jelas dan transparan, termasuk bagaimana bunga hasil deposito itu dicatat dan dilaporkan. Bila benar ada dana daerah yang disimpan dalam bentuk deposito, hal itu perlu ditelusuri lebih dalam,” ujarnya.
Ini tentu saja, kata Acuviaerta, bisa menjadi pintu masuk untuk dilakukan penyelidikan. Ia menegaskan, dana daerah harus jelas sumber dananya, apakah dari sisa lebih anggaran (Silpa) atau dari anggaran yang belum direalisasikan.
Acuviarta juga mengingatkan pentingnya akuntabilitas dalam pengelolaan kas daerah. Kalau dana itu bersumber dari APBD, maka prinsipnya harus segera direalisasikan untuk program masyarakat. Jangan sampai justru menjadi dana tidur yang malah menghasilkan bunga di bank daerah. (AN/E-4)