
SEJAK tanggal 25 Januari 2025 hingga hari ini, publik masih dikejutkan oleh drama tanah HGU Nangahale di Maumere, Kabupaten Sikka-Flores. Gereja Keuskupan Maumere didamprat. Gereja sebagai lembaga yang umumnya dikenal sebagai jangkar moral, jangkar cinta kasih, jangkar keadilan dan benteng pembelaan HAM sontak dituduh tidak bermoral, tidak ada cinta kasih dan sangat tidak adil.
Gereja hierarkis, yakni uskup Maumere, dituding gusur umatnya sendiri dari tanah mereka. Uskup ini sangat kejam. Tidak ada pendekatan manusiawi.Tidak ada dialog. Gereja telah menjadi perampas tanah dan penjajah baru di Flores. Uskup Maumere sangat feodal dan otoritarian. Ia main kuasa dan harus dilawan.
Benarkah Gereja Flores perampas tanah dan penjajah baru?
Semua tuduhan ini disuapkan ke banyak wartawan media online. Tak terkecuali koran besar Kompas, Majalah Tempo, dan UCA News (Union of Catholic Asia News) yang berkantor pusat di Paris-Perancis dan markas editorialnya di Bangkok-Thailand.
Salah satu judul berita pertama online UCA News (23/1/2025) adalah Indonesian diocese under fire for evicting indigenous people. Arti judul berita ini tidak main-main, yaitu Keuskupan di Indonesia dikecam karena mengusir penduduk asli dari tanah mereka sendiri.
UCA News online yang lain (31/1/2025) berjudul Is the Church Reclaiming Land or Recolonizing Indonesia's Flores Island? Artinya sangat menohok seperti lembing menikam jantung. "Apakah Gereja merebut Kembali Tanah atau Menjajah Kembali Pulau Flores di Indonesia?" Juga sangat menohok. Penulis berita ini adalah putra Flores yang sudah lama tinggal jauh di Negeri Kanguru-Australia. Analisisnya panjang-lebar. Inti pendapatnya ada di judul.
Gereja Katolik Keuskupan Maumere dituding sebagai perampas tanah (land grabber) umatnya sendiri dan Gereja Katolik sedang menjajah Kembali Pulau Flores.
Tapi betulkah demikian? Uskup Katolik mana di dunia ini yang tidak mencintai umatnya, yang tidak ada cinta kasih dan mengusur umatnya sendiri secara tidak manusiawi, serta merampas tanah mereka?
Menurut sekelompok orang internal Gereja Katolik sendiri, berjubah, yang merasa diri sangat pintar dan tahu segala sesuatu, uskup yang demikian itu adalah Uskup Keuskupan Maumere di Flores. Keuskupan Maumere telah menjadi penjajah baru Pulau Flores hingga hari ini sejak Belanda pulang kampung tahun 1942.
Contohnya, Uskup Keuskupan Maumere rampas tanah umatnya sendiri di Nangahale, 40,03 km di sebelah timur Kota Maumere. Modus operandinya adalah dengan berpolitik busuk dengan menjadikan tanah ini Tanah HGU (Hak Guna Usaha). Hmm...sekali lagi, apakah benar demikian?
Tanah rampasan Belanda hingga jadi tanah HGU
Tanah Nangahale yang dikisruhkan ini adalah tanah HGU. Nah, apa itu tanah HGU? Mengapa tanah ini disebut tanah HGU? Mengapa tanah ini menjadi tanah HGU? Bagaimana prosesnya dan apa konteks sejarah Indonesia sampai tanah ini menjadi tanah HGU? Siapa pemilik tanah yang disebut tanah HGU menurut hukum di Indonesia?
Kalau Anda tidak tahu atau menjawab pertanyaan ini secara tidak benar dan tidak paham sejarah masa lalu suku-suku di Indonesia, maka Anda tanpa sadar akan berkubang di dalam kekeliruan. Anda bisa menjadi penyesat warga masyarakat dan melakukan tuduhan palsu alias tidak benar. Anda menampar orang yang tidak bersalah. Itu sebuah kejahatan (crime) dan Anda harus dihukum.
Hal ini mesti diingat. Indonesia sebagai satu bangsa dan satu negara baru lahir tahun 1945. Sebelum tahun 1945, suku-suku di Kepulauan Nusantara (yang sekarang menjadi Indonesia hidup sangat sederhana. Mereka sangat primitif alias sangat terbelakang. Belum ada sekolah untuk mengasah mereka jadi pintar. Mereka tak tahu baca dan tulis. Belum ada bahasa pemersatu untuk bersoal-jawab pertahankan hak atas sumber-sumber hidup termasuk tanah ulayat.
Melayu sudah menjadi lingua franca (bahasa umum), tapi hanya terbatas segelintir suku pedagang pesisir pantai yang menguasainya. Suku-suku terpencil di pedalaman yang jumlahnya mayoritas sebagai masyarakat petani belum menguasai Bahasa Melayu.
Suku-suku Kepuluan Nusantara yang masih primitif ini hidup terpencar-pencar di tiap pulau, menurut suku dan budayanya masing-masing. Dalam kondisi keterbelakangan demikian, bangsa-bangsa Eropa mulai satu persatu datang menunjukkan batang hidungnya. Mula-mula mereka datang berdagang beli rempah pala, lada, cengkeh dan sebagainya. Kemudian perlahan-lahan mereka kuasai, jajah dan rampok.
Mula-mula pedagang Portugis tiba pertama kali di Selat Malaka tahun 1511. Selanjutnya mereka menguasai perdagangan hampir di seluruh wilayah pesisir kepulauan Nusantara. Bulan Juni tahun 1596 menyusul pedagang Belanda tiba di Selat Sunda, dan selanjutnya mendirikan perusahaan dagang VOC tahun 1602 dengan gudang utama jarahan mereka di Batavia (sekarang Jakarta).
Perlahan-lahan mereka mengusir pedagang Portugis dari seluruh kepulauan Nusantara, hingga Portugal bertahan hanya menguasai Pulau Timor, Flores dan Sumba hingga tahun 1859. Pada tanggal 20 April 1859, pedagang Portugis dipaksa Belanda untuk angkat kaki dari seluruh Pulau Flores, Pulau Sumba dan Pulau Timor bagian barat, dan hanya mengizinkan mereka untuk tetap bertahan di bagian ujung timur Pulau Timor (sekarang negara Timor Leste).
Dari tahun 1511 hingga 1945/1949, Indonesia dijajah. Kalau orang mau pakai bahasa yang lebih lugas ya, sebenarnya, masa ini adalah masa suku-suku bangsa Indonesia dirampas dan dirampok oleh bangsa-bangsa barat. Perampasan dan perampokan ini lama: berlangsung 400 tahun. Ini bisa 5 hingga 10 generasi manusia. Ada banyak bentuk perampasan dan perampokan yang mereka lakukan.
Salah satu hal yang umum terjadi adalah perampasan dan perampokan tanah. Orang-orang Belanda, yang beperadaban tinggi, putih, celana panjang, sepatu bengkap dan bersenjata lengkap ini, rampok tanah suku-suku bangsa Indonesia yang masih primitif, ada yang kulit gelap dan semuanya buta huruf.
Belanda dengan sesuka hati patok tanah milik mereka. Tanah-tanah dari suku-suku Indonesia, yang masih kosong, rata, subur dan belum digarap karena hutan lebat, rawa-rawa, penuh nyamuk dan penuh kerbau liar, diambil sesuka hati oleh perusahaan-perusahan penjajah Belanda. Mereka jadikan kebun tanaman perdagangan seperti kelapa, tembakau, kapas atau kopi untuk dijual di pasar Eropa. Suku-suku bangsa di seluruh kepulauan Indonesia tidak bisa berkutik karena masih terbelakang dan bodoh.
Tahun 1945 suku-suku kepulauan Indonesia merdeka dari Belanda. Mereka membentuk satu keluarga besar yaitu bangsa dan negara Indonesia. Belanda berhasil diusir secara final pada tahun 1949 via perjanjian Meja Bundar di Belanda. Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dan sejak tahun itu berjanji untuk tidak akan merampas dan merampok suku-suku Indonesia lagi.
Nasionalisasi perusahaan Belanda
Sejak tahun 1949, Pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soekarno mulai menertibkan kepemilikan barang dan tanah-tanah di seluruh Indonesia. Hal ini dilakukan Soekarno dalam rangka membangun ekonomi bangsa Indonesia. Peristiwa ini yang kemudian disebut nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.
Hal ini dilakukan pemerintahaan Soekarno sejak tahun 1949. Sekali lagi, setelah Indonesia merdeka tahun 1945/1949, penjajahan Belanda telah berakhir. Tapi apakah penjajahan sungguh berakhir? Jawabannya tidak. Ternyata, yang berakhir itu hanya kehadiran pemerintah Belanda di Indonesia. Sedangkan perusahaan-perusahaan swasta Belanda tetap berbisnis seperti biasa di Indonesia. Bagaimana hal ini harus dimengerti?
Selama 353 tahun dijajah Belanda (1596-1949), ternyata suku-suku di seluruh Kepulauan Indonesia itu dijajah oleh perusahaan-perusahan swasta Belanda (catatan: Belanda sudah sejak lama menganut sistem ekonomi kapitalis liberal yang mendewakan privatisasi usaha ekonomi) dan bukan oleh pemerintah Kerajaan Belanda.
Penjajah Belanda atas nama Ratu Belanda berada di Indonesia selama 400 tahun hanya untuk mengawasi dan mengamankan bisnis perusahaan-perusahaan swasta Belanda, dan pemerintah Ratu Belanda hanya mendapat pajak usaha dari mereka.
Pada waktu Indonesia merdeka tahun 1945/1949, pemerintah Belanda sebagai pengawas dan satpam (pengaman) bisnis perusahaan-perusahaan swasta Belanda meninggalkan Indonesia, tapi perusahaan-perusahaan swasta Belanda ini tetap beroperasi seperti biasa.
Kereta api tetap menjadi milik perusahaan Belanda. Pelayaran, penerbangan, perbankan, jasa pengiriman pos dan giro masih tetap menjadi milik perusahaan Belanda. Terhadap fakta ini, Presiden Soekarno sangat geram. Ia sangat keberatan. Menurut Soekarno, perusahaan-perusahaan swasta Belanda ini adalah bagian integral dari penjajahan Belanda selama 353 tahun.
Oleh karena itu, semua perusahaan asing Belanda, tak terkecuali perusahaan Amerika Serikat dan Inggris yang masih beroperasi di seluruh Indonesia waktu itu harus diambil alih menjadi perusahaan milik seluruh rakyat Indonesia.
Proses ini yang kemudian dalam sejarah Indonesia dikenal dengan istilah nasionalisasi perusahaan asing di awal kemerdekaan Indonesia. Yang jelas, hal ini menuai kebenciaan bangsa Barat terhadap Presiden Soekarno. Tapi Presiden Soekarno tidak peduli.
Perusahaan-perusaaan asing ini selanjutnya menjadi milik negara Indonesia atas nama seluruh rakyat Indonesia dan dikelola oleh BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Mereka menjadi BUMN pertama di Indonesia yakni, antara lain, PT KAI (Kereta Api Indonesia), PT PELNI, PT Garuda Indonesia, PT PLN, PT PAL, Bank Mandiri dan masih banyak yang lain.
Nasionalisasi tanah bekas perusahaan Belanda jadi tanah HGU. Bagaimana dengan tanah-tanah suku bangsa Indonesia, yang pernah dimiliki oleh Belanda, entah perolehannya dengan cara dibeli atau dirampok begitu saja selama 353 tahun penjajahan itu?
Setelah diskusi panjang, Soekarno dengan bijaksana membuat keputusan yang paling baik. Melalui UU, antara lain UU No 5/1960, Pemerintahan Soekarno memutuskan bahwa tanah-tanah suku bangsa Indonesia yang pernah dipatok sesuka hati oleh perusahaan-perusahaan Belanda tidak bisa dikembalikan kepada suku-suku yang sebelumnya menjadi pemilik tanah ini.
Mengapa tanah-tanah bekas perusahaan Belanda ini tidak bisa dikembalikan kepada warga masyarakat pemiliknya? Alasannya, proses pengembaliannya cukup sulit dan ribet dari banyak aspek. Kenyataannya, tanah-tanah ini sudah dikuasai Belanda dalam waktu 50 bahkan ratusan tahun. Suku pemiliknya sudah silih berganti. Ada yang datang dan ada yang pergi. Pengembaliannya, antara lain, bisa menimbulkan konflik internal atau antar-suku: siapa dapat dalam jumlah berapa dan dapat di mana. Belum lagi, tanah ini tak akan cukup dibagi karena suku pemiliknya telah berkembang biak secara exponensial (berlipatganda).
Oleh karena itu, pemerintah RI masa Soekarno memutuskan supaya semua tanah bekas perusahaan Belanda dijadikan milik negara atas nama seluruh rakayat Indonesia dan dikelola melalui mekanisme HGU.
Tanah milik negara ini diberi Hak Guna Usaha (HGU) kepada pihak tertentu yang bisa dan mau mengelolanya dengan membayar pajak setiap tahun kepada negara sebagai sewa atas penggunaannya. Kebijakan ini berlaku dari Sabang sampai Marauke termasuk tanah HGU di Nangahale dan Patiahu di Pulau Flores.
Gereja tidak pernah rampas tanah suku di Nangahale
Tanah Nangahale yang hingga saat ini dikelola oleh PT Krisrama, dengan investor Keuskupan Maumere dan Provinsi SVD Ende, adalah tanah bekas perusahaan kapas Belanda. Entah apa alasannya, pada tahun 1926, perusahaan kapas penjajah Belanda di Maumere menjual tanah seluas 1.438 hektar ini kepada Gereja masa itu (Vikariat Apostolik Kepulauan Sunda Kecil) yang dinakodai misionaris SVD asal Belanda dan Jerman. Gereja membelinya dengan uang Belanda seharga 22.500 Gulden. Bukti pembelian masih tersimpan baik di Kantor Provinsialat SVD Ende dan di Ndoa-Keuskupan Agung Ende.
Dengan demikian, kedudukan persoalan ini jelas. Gereja tidak merampok tanah Nangahale dan Patiahu dari suku setempat. Gereja juga tidak menerimanya begitu saja sebagai hadiah dari penjajah Belanda. Gereja juga tidak sedang melanjutkan penjajahan Belanda atas Pulau Flores seperti dituding UCA News (23/1/2025 & 31/1/2025).
Tanah tersebut dibeli dari perusahaan Belanda. Tanah yang dibeli itu kemudian di bagi dua. Satu bagian yaitu Nangahale menjadi milik Gereja Keuskupan Agung Ende saat itu dan satu bagian lain yaitu Patiahu menjadi milik Provinsi SVD Ende.
Lalu, untuk apa kepemilikan tanah Nangahale dan Patiahu ini oleh Gereja sejak tahun 1926. Tanah Nangahale digunakan untuk tanam ubi, sayur, jagung, pisang, dan kelapa serta piara ayam, babi, kambing dan sapi dalam rangka kemandirian biaya makan-minum dari semua mahasiswa calon misionaris imam projo dari Gereja Katolik Senusatenggara di Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret-Maumere.
Sedangkan tanah Patiahu dikelola untuk budidaya hal yang sama dalam rangka suplai makan-makan minum semua mahasiswa calon imam misionaris SVD di Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero. Baik para calon imam projo Senusatenggara yang dididik di Seminari Tinggi Ritapiret, maupun para calon imam SVD di Seminari Tinggi Ledalero sejak 1926 telah dipersiapkan dan diberi makan-minum dari tanah Nangahale dan Patiahu.
Para calon pastor yang diberi makan oleh Rahim tanah Nangahale dan Patiahu berkarya melayani keselamatan jiwa dari umat Katolik sendiri, mulai dari Flores maupun di tempat lain di seluruh Indonesia dan bahkan kini di seluruh dunia.
Dengan demikian, tanah Nangahale dan tanah Patiahu tidak dikelola oleh Gereja Katolik untuk bisnis dalam arti biasa untuk mendulang keuntungan pribadi. Kedua tanah ini dikelola atas nama Allah untuk tujuan suci yaitu beri makan minum para calon pastor yang akan melayani umat Allah di mana saja.
Setelah Indonesia merdeka, tanah Nangahale dan Patiahu, sama seperti tanah-tanah bekas perusahaan Belanda lainnya di seluruh Indonesia, kena aturan pemerintah. Walau diperoleh dengan beli dari perusaaan Belanda, tanah ini diambil oleh pemerintah negara RI. Gereja legowo dan taat hukum. Tanah Nagahale dan Patiahu diambil menjadi tanah negara RI atas nama seluruh rakyat Indonesia. Pengelolaannya ditempuh melalui mekanisme HGU.
Oleh karena sejarahnya yang khusus, wajar Gereja diberi HGU oleh pemerintah RI. Selanjutnya, Gereja Keuskupan Maumere dan Provinsi SVD Ende mengelolanya dengan mendirikan PT Krisrama (Kristus Raja Semesta Alam (catatan: seperti tampak pada nama PT ini, maka ini merupakan bisnis suci atas nama Tuhan Yesus Kristus pemilik alam semesta, termasuk pemilik tertinggi atas tanah Nangahale dan Patiahu; yang lawan sama dengan lawan Yesus sendiri).
Sejak tanggal 20 Juli 2023 PT Krisrama mengantongi SK HGU No.I/HGU/BPN.53/7/2023. Lalu, berdasarkan SK HGU yang baru ini diterbitkan sertifikat baru HGU No.4-13 atas nama PT Krisrama.
Warga yang serobot tanah Nangahale lawan Negara
Selama 10 tahun sejak 2014 hingga bulan Januari 2025, atas provokasi orang-orang pintar, sejumlah warga serobot tanah Nangahale dan juga jarah tanaman di tanah Patiahu. Mencermati sejarah dan status hukum tanah ini, maka warga masyarakat ini mesti diperiksa oleh pihak keamanan dan kalau terbukti bersalah mereka mesti ditahan dan diadili demi keadilan hukum.
Status masalah ini jelas. Pemilik tanah Nangahale dan tanah Patiahu menurut hukum adalah negara RI. Gereja, yakni Keuskupan dan Provinsi SVD Ende via PT Krisrama, hanya berperan sebagai pemakai alias peminjam. Gereja bukan pemilik. Uskup Maumere dan Provinsi SVD Ende seturut hukum negara bukan pemilik tanah Nangahale dan Patiahu.
Nah, kalau ada orang yang mau lawan, maka mereka harus lawan negara, bukan lawan Gereja dan bukan lawan uskup dan bukan lawan Provinsi SVD Ende. Orang-orang yang lawan Uskup, lawan Gereja dan rusakkan Gereja Keuskupan Maumere adalah orang-orang yang lawan musuh yang salah.
Hal ini yang orang Amerika katakan: "You fighat against a wrong " yang artinya "Anda melawan orang yang sebenarnya bukan musuh Anda". Dengan kata lain Anda menampar orang yang tidak bersalah.
Tindakan ini jelas merupakan blunder besar dan harus dituntut balik. Jika terbukti bersalah, mereka harus dihukum dan didenda, siapapun mereka, termasuk yang berjubah sekalipun, demi keadilan hukum.