
PARA pemimpin negara anggota BRICS berkumpul di Rio de Janeiro, Brasil, untuk mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) dua hari yang dimulai pada Minggu (6/7).
Pertemuan ini berlangsung di tengah kekhawatiran atas kebijakan tarif baru yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Dalam forum ini, BRICS kembali menegaskan perannya sebagai pendukung multilateralisme dan representasi suara negara-negara berkembang.
Dalam KTT tersebut, para pemimpin negara akan membahas langkah konkret mempererat kerja sama ekonomi dan politik, khususnya menghadapi dominasi negara-negara Barat. Kekhawatiran atas ketidaksetaraan global menjadi fokus utama diskusi mereka.
BRICS merupakan akronim dari lima negara pendiri: Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Sejak dibentuk pada 2009, kelompok ini telah memperluas keanggotaannya dengan menerima Mesir, Ethiopia, Indonesia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab sebagai anggota penuh. Selain itu, terdapat 10 negara mitra strategis, termasuk Belarus, Kuba, dan Vietnam.
Dua tokoh absen
Namun, KTT tahun ini mencatat ketidakhadiran dua tokoh utama. Presiden Tiongkok Xi Jinping memilih tidak hadir secara langsung dan mengutus Perdana Menteri Li Qiang sebagai wakil.
Sementara Presiden Rusia Vladimir Putin juga absen karena statusnya sebagai pihak yang dicari oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas invasi Rusia ke Ukraina tahun 2022. Brasil sebagai tuan rumah merupakan negara penandatangan Statuta Roma yang mengharuskan penegakan surat perintah penangkapan ICC.
Ketidakhadiran dua pemimpin tersebut memunculkan pertanyaan mengenai tingkat kohesi internal dan kekuatan pengaruh BRICS di panggung internasional.
Sebagai pemegang keketuaan tahun ini, Brasil diperkirakan akan memimpin penyusunan pernyataan bersama yang mengkritik keras tarif perdagangan baru AS.
Tanpa pandang bulu
Para pemimpin BRICS menyebut tarif Trump sebagai kebijakan "tanpa pandang bulu" yang dapat merusak stabilitas ekonomi global dan melanggar prinsip-prinsip perdagangan bebas. Isu lainnya yang akan dibahas meliputi kesehatan global, kecerdasan buatan dan krisis iklim.
Saat ini, BRICS mengeklaim mewakili hampir setengah populasi dunia, 36 persen wilayah daratan global, dan seperempat dari total output ekonomi dunia. Kelompok ini diposisikan sebagai alternatif terhadap dominasi ekonomi global G7, dan menjadi wadah negara-negara Global Selatan untuk memperjuangkan sistem internasional yang lebih adil.
Meski demikian, ketidakharmonisan di dalam blok mulai tampak. Beberapa negara anggota, menurut sumber Associated Press, mendesak agar BRICS mengadopsi sikap lebih tegas terhadap konflik Israel di Gaza dan serangan terhadap Iran. Sumber tersebut tidak disebutkan namanya karena alasan sensitivitas informasi.
Iran dan Mesir hadir
Presiden Iran Masoud Pezeshkian dan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi dijadwalkan hadir dalam KTT ini.
“Tujuan BRICS adalah untuk memberikan tekanan bagi dunia multipolar dengan tata kelola global yang inklusif agar dapat memberikan suara yang berarti bagi negara-negara berkembang, terutama dalam sistem perdagangan," lapor Lucia Newman, jurnalis Al Jazeera yang melaporkan dari Rio de Janeiro.
Namun ia juga menambahkan bahwa meskipun BRICS memiliki ambisi besar, tidak terlalu terorganisasi dan tidak memiliki dampak global yang radikal.
"Pertanyaan sebenarnya adalah, dapatkah BRICS yang diperluas yang anggotanya memiliki sistem dan prioritas politik yang sangat berbeda membentuk blok yang cukup bersatu untuk memiliki dampak yang signifikan?," pungkas Newman mengakhiri laporannya dengan pertanyaan reflektif. (Fer/I-1)