
HARGA Bitcoin mengalami koreksi setelah sebelumnya mencatat rekor tertinggi sepanjang masa (ATH) selama tiga hari berturut-turut. Pada Senin (14/7), Bitcoin sempat menyentuh angka 122.800 dolar AS, naik dari 119.300 dolar AS di hari sebelumnya dan 118.500 dolar AS pada Jumat (11/7).
Salah satu pendorong lonjakan harga tersebut adalah berita mengenai kebijakan tarif baru Amerika Serikat terhadap impor dari Uni Eropa dan Meksiko. Namun, pada Rabu (16/7), harga Bitcoin mulai mengalami penurunan dan berada di kisaran 117.000 dolar AS.
Dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, Analis Reku Fahm Almuttaqin menjelaskan bahwa lonjakan Indeks Harga Konsumen (CPI) AS pada Juni turut menekan pasar, ditambah aksi ambil untung (profit taking) yang sedang berlangsung.
“Data CPI AS bulan Juni yang dirilis tadi malam (Selasa, 15/7) menunjukkan kenaikan harga konsumen sebesar 0,3 persen secara bulanan dan 2,7 persen secara tahunan, peningkatan paling signifikan sejak Januari. Lonjakan tersebut didorong oleh kenaikan harga barang impor seperti perabot rumah tangga, elektronik, dan pakaian yang terdampak oleh tarif perdagangan AS. Kenaikan tersebut selaras dengan kekhawatiran The Fed bahwa inflasi akibat kebijakan tarif Trump baru mulai terasa. Hal ini meningkatkan kemungkinan akan dipertahankannya suku bunga di level 4,25-4,50 persen hingga paling cepat September,” ujar Fahmi.
Meskipun Bitcoin terkoreksi, beberapa altcoin utama masih melanjutkan tren kenaikan. Altcoin seperti PENGU, XLM, CRV, dan ALGO bahkan mencatat lonjakan harga di atas 50 persen dalam sepekan terakhir.
Hal ini menunjukkan adanya rotasi modal dari Bitcoin ke aset berkapitalisasi menengah.
“Jika tren ini berlanjut, altcoin lain bisa memperoleh dorongan lebih kuat, meskipun optimisme terkait potensi penurunan suku bunga The Fed masih menjadi faktor penentu. Intervensi Trump seperti melalui tekanan pada pemimpin The Fed Jerome Powell, untuk menurunkan suku bunga hingga ke level 1 persen maupun mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pemimpin bank sentral tersebut, turut menjadi faktor potensial yang dapat mempengaruhi dinamika optimisme investor,” ungkap Fahmi.
Lebih lanjut, Fahmi menambahkan banyak investor saat ini cenderung bersikap wait and see, menunggu kebijakan suku bunga diturunkan untuk mulai mengalokasikan dana ke altcoin.
Jika ada sinyal positif, arus dana ke altcoin—khususnya yang memiliki likuiditas kuat dan dukungan harga yang stabil—bisa meningkat secara signifikan.
“Tren tersebut apabila terjadi, akan menjadi sinyal klasik fase lanjutan siklus bullish yang ada. Untuk investor kripto, ini membuka peluang profit baru, namun juga memperbesar risiko volatilitas karena reli altcoin seringkali lebih fluktuatif dan cepat berbalik arah. Investor disarankan tetap disiplin, memanfaatkan momentum, tetapi waspada terhadap tanda-tanda reversal atau rotasi kapital kembali ke Bitcoin khususnya jika ketidakpastian global meningkat,” tambahnya.
Sementara itu, Bitcoin tetap menjadi pilihan utama para investor institusi. Meski tren akumulasi Ethereum (ETH) menguat dalam beberapa pekan terakhir, sebagian besar dana institusi masih mengarah ke Bitcoin.
Kenaikan harga Bitcoin yang menembus 120.000 dolar AS turut menjawab keraguan pasar yang sebelumnya menganggap level 116.000 dolar AS sudah terlalu tinggi.
“Potensi aliran dana yang cukup masif ke pasar kripto masih berpotensi terjadi apabila investor semakin mempertimbangkan kemungkinan akan diberlakukannya kebijakan pelonggaran ekonomi AS,” ujar Fahmi lagi.
Fahmi menambahkan bahwa strategi adopsi Bitcoin untuk treasury perusahaan juga semakin relevan, dengan makin banyak perusahaan besar mulai menggunakan Bitcoin sebagai alat lindung nilai.
“Meningkatnya relevansi tersebut dapat menciptakan efek lanjutan di mana semakin banyak institusi berpotensi mengalokasikan aset ke Bitcoin yang dapat semakin meningkatkan legitimasinya sebagai instrumen investasi yang bernilai,” lanjut Fahmi.
Di tengah momentum pasar yang masih cukup bullish, Fahmi menilai pasar kripto tetap memberikan peluang menarik tergantung pada strategi dan preferensi masing-masing investor.
Untuk pemula yang belum yakin dengan volatilitas tinggi, Fahmi menyarankan investasi melalui indeks fund seperti Reku Packs.
“Reku Packs juga menyediakan serangkaian portofolio Saham AS yaitu Web3 Wall Street Fund yang memungkinkan investor mendapatkan eksposur pasar kripto melalui perusahaan global yang berkorelasi dengan sektor blockchain, tanpa berinvestasi langsung ke crypto. Sementara itu, untuk strategi pembelian, di tengah masih relatif terbukanya potensi ketidakpastian makro, investor juga bisa mempertimbangkan strategi DCA (dollar cost averaging) di mana investor dapat melakukan pembelian dengan nominal dan periode waktu tertentu seperti satu kali setiap bulan misalnya untuk mendapatkan harga rata-rata dari setiap fluktuasi yang terjadi di pasar,” tutup Fahmi. (Ant/I-3)